Versi ketiga inilah yang "sedikit" ada bukti-bukti tertulis dan tempat yang lebih jelas. Versi ini pulalah yang dipakai oleh keturunan dia di Kampung Tarik Kolot – Cimande (Bogor). Meskipun begitu, versi ini tidak menjawab tuntas beberapa pertanyaan, misal: Siapa genius yang menciptakan aliran Maenpo ini yang kelak disebut Maenpo Cimande.
Abah Khaer diceritakan sebagai murid dari Abah Buyut, masalahnya
dalam budaya Sunda istilah Buyut dipakai sebagaimana "leluhur"
dalam Bahasa Indonesia. Jadi Abah Buyut sendiri
merupakan sebuah misteri terpisah, darimana dia belajar Maenpo ini, apakah
hasil perenungan sendiri atau ada yang mengajari? Yang pasti, di desa tersebut,
tepatnya di Tanah Sareal terletak makam leluhur Maenpo Cimande yaitu Abah
Buyut, Abah Rangga, Abah Khaer, dan lain-lain.
Abah Khaer awalnya berprofesi sebagai pedagang (kuda dan
lainnya), sehingga sering bepergian ke beberapa daerah, terutama Batavia. Saat itu perjalanan Bogor-Batavia tidak
semudah sekarang, bukan hanya perampok, tetapi juga Harimau, Macan Tutul dan
Macan Kumbang. Tantangan alam seperti itulah yang turut membentuk beladiri yang
dikuasai Abah Khaer ini. Disamping itu, di Batavia Abah Khaer berkawan dan
saling bertukar jurus dengan beberapa pendekar dari Tiongkok dan
juga dari Sumatra. Dengan kualitas basic beladirinya yang matang
dari Guru yang benar (Abah Buyut), juga tempaan dari tantangan alam dan
keterbukaan menerima kelebihan dan masukan orang lain, secara tidak sadar Abah
Khaer sudah membentuk sebuah aliran yang dahsyat dan juga mengangkat namanya.
Saat itu (sekitar 1700-1800) di Cianjur berkuasa Bupati Rd. Aria
Wiratanudatar VI (1776-1813, dikenal juga dengan nama Dalem Enoh). Sang bupati
mendengar kehebatan Abah Khaer, dan memintanya untuk tinggal di Cianjur dan
bekerja sebagai "pamuk" ( pamuk dalam Bahasa Sunda artinya
Guru beladiri) di lingkungan Kabupatian dan keluarga bupati. Bupati Aria
Wiratanudatar VI memiliki 3 orang anak, yaitu: Rd. Aria Wiranagara (Aria
Cikalong), Rd. Aria Natanagara (Rd.Haji Muhammad Tobri) dan Aom Abas (ketika
dewasa menjadi Bupati di Limbangan-Garut). Satu nama yang patut dicatat di sini
adalah Aria Wiranagara (Aria Cikalong), karena dialah yang merupakan salah satu
murid terbaik Abah Khaer dan nantinya memiliki cucu yang
"menciptakan" aliran baru yang tak kalah dasyat.
Sepeninggal Bupati Aria Wiratanudatar VI (tahun 1813), Abah
Khaer pergi dari Cianjur mengikuti Rd. Aria Natanagara yang menjadi Bupati di
Bogor. Mulai saat itulah dia tinggal di Kampung Tarik Kolot – Cimande sampai
wafat (Tahun 1825, usia tidak tercatat). Abah Khaer sendiri memiliki 5 orang
anak, seperti yang dapat dilihat di bawah ini. Mereka inilah dan murid-muridnya
sewaktu dia bekerja di kabupaten yang menyebarkan Maenpo Cimande ke seluruh
Jawa Barat.
Sayangnya image tentang Abah Khaer sendiri
tidak ada, cuma digambarkan bahwa dia: "selalu berpakain kampret dan
celana pangsi warna hitam. Dan juga dia selalu memakai ikat
kepala warna merah, digambarkan bahwa ketika dia "ibing" di atas
panggung penampilannya sangat ekspresif, dengan badan yang tidak besar tetapi
otot-otot yang berisi dan terlatih baik, ketika "ibing" (menari)
seperti tidak mengenal lelah. Terlihat bahwa dia sangat menikmati tariannya
tetapi tidak kehilangan kewaspadaannya, langkahnya ringan bagaikan tidak
menapak panggung, gerakannya selaras dengan kendang ("Nincak kana
kendang" – istilah sunda). Penampilannya betul-betul tidak bisa
dilupakan dan terus diperbincangkan." (dari cerita/buku Pangeran Kornel,
legenda dari Sumedang, dalam salah satu bagian yang menceritakan kedatangan
Abah Khaer ke Sumedang, aslinya dalam Bahasa Sunda,
pengarang Rd Memed Sastradiprawira).[11]