Ini adalah versi yang berkembang di daerah Priangan Timur (terutama meliputi daerah Garut dan Tasikmalaya dan juga Cianjur selatan). Berdasarkan versi yang ini, Abah Khaer belajar Silat dari istrinya. Abah Khaer diceritakan sebagai seorang pedagang (dari Bogor sekitar abad 17 sampai abad 18) yang sering melakukan perjalanan antara Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Sumedang, dan sebagainya. Dan dalam perjalanan tersebut dia sering dirampok, itu terjadi sampai istrinya menemukan sesuatu yang berharga.
Suatu waktu, ketika Abah Khaer pulang dari berdagang, dia tidak
menemukan istrinya ada di rumah, padahal saat itu sudah menjelang sore hari,
dan ini bukan kebiasaan istrinya meninggalkan rumah sampai sore. Dia menunggu
dan menunggu, sampai merasa jengkel dan khawatir, jengkel karena perut lapar
belum diisi dan khawatir karena sampai menjelang tengah malam istrinya belum
datang juga. Akhirnya tak lama kemudian istrinya datang juga, hilang rasa
khawatir, yang ada tinggal jengkel dan marah. Abah Khaer bertanya kepada
istrinya, "Ti mana maneh?" (Dari mana kamu?) tetapi tidak
menunggu istrinya menjawab, melainkan langsung mau menempeleng istrinya. Tetapi
istrinya malah bisa menghindar dengan indahnya, dan membuat Abah Khaer
kehilangan keseimbangan. Ini membuat Abah Khaer semakin marah dan mencoba terus
memukul, tetapi semakin mencoba memukul dengan amarah, semakin mudah juga
istrinya menghindar. Ini terjadi terus sampai Abah Khaer jatuh kelelahan dan
menyadari kekhilafannya, dan bertanya kembali ke istrinya dengan halus "Ti
mana anjeun teh Nyi? Tuluy ti iraha anjeun bisa Ulin?" (Dari mana
kamu? Lalu dari mana kamu bisa "Main"?).
Akhirnya istrinya menjelaskan bahwa ketika tadi pagi ia pergi ke
sungai untuk mencuci dan mengambil air, ia melihat Harimau berkelahi dengan 2
ekor monyet (Salah satu monyet memegang ranting pohon). Saking indahnya
perkelahian itu sampai-sampai ia terkesima, dan memutuskan akan menonton sampai
beres. Ia mencoba mengingat semua gerakan baik itu dari Harimau maupun dari
Monyet, untungnya baik Harimau maupun Monyet banyak mengulang-ngulang gerakan
yang sama, dan itu mempermudah ia mengingat semua gerakan. Pertarungan antara
Harimau dan Monyet sendiri baru berakhir menjelang malam.
Setelah pertarungan itu selesai, ia masih terkesima dan dibuat
takjub oleh apa yang ditunjukan Harimau dan Monyet tersebut. Akhirnya ia pun
berlatih sendirian di pinggir sungai sampai betul-betul menguasai semuanya, dan
itu menjelang tengah malam. Apa yang ia pakai ketika menghindar dari serangan
Abah Khaer, adalah apa yang ia dapat dari melihat pertarungan antara Harimau
dan Monyet itu. Saat itu juga, Abah Khaer meminta istrinya mengajarkan dia. Ia
berpikir, 2 kepala yang mengingat lebih baik daripada satu kepala. Ia takut apa
yang istrinya ingat akan lupa. Dia berhenti berdagang dalam suatu waktu, untuk
melatih semua gerakan itu, dan baru berdagang kembali setelah merasa mahir.
Diceritakan bahwa dia bisa mengalahkan semua perampok yang mencegatnya, dan
mulailah dia membangun reputasinya di dunia di dunia persilatan.
Jurus yang dilatih
1.
Jurus
Harimau/Pamacan (Pamacan,[4] tetapi mohon dibedakan
pamacan yang “black magic” dengan jurus
pamacan. Pamacan black magic biasanya
kuku menjadi panjang, mengeluarkan suara-suara aneh, mata merah dan lain-lain).
2.
Jurus
Monyet/Pamonyet[5] (Sekarang sudah
sangat jarang sekali yang mengajarkan jurus ini, dianggap punah).
3.
Jurus
Pepedangan[6] (ini diambil dari monyet
satunya lagi yang memegang ranting).[7]
Cerita di atas sebenarnya lebih cenderung mitos, tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
walaupun jurus-jurusnya ada.[8] Maenpo Cimande sendiri
dibawa ke daerah Priangan Timur dan Cianjur selatan oleh pekerja-pekerja
perkebunan teh. Hal yang menarik adalah beberapa perguruan tua di daerah itu
kalau ditanya darimana belajar Maenpo Cimande selalu menjawab "ti indung" (dari ibu), karena memang
mitos itu mempengaruhi budaya setempat, jadi jangan heran kalau di daerah itu
perempuan pun betul-betul mempelajari Maenpo Cimande dan mengajarkannya kepada
anak-anak atau cucu-cucunya, seperti halnya istrinya Abah Khaer mengajarkan
kepada Abah Khaer.
Perkembangannya Maenpo Cimande sendiri sekarang di daerah
tersebut sudah diajarkan bersama dengan aliran lain (Cikalong, Madi, Kari, Sahbandar, dan
lain-lain). Beberapa tokoh yang sangat disegani adalah K.H. Yusuf Todziri
(sekitar akhir 1800 – awal 1900), Kiai Papak (perang kemerdekaan, komandannya
Mamih Enny), Kiai Aji (pendiri Gadjah Putih Mega Paksi Pusaka, perang
kemerdekaan), Kiai Marzuk (Maenpo H. Marzuk, zaman penjajahan Belanda), dan
lain-lain.